Perang Aceh merupakan salah satu perang terhebat di nusantara dalam
melawan penjajah Belanda. Perang yang meletus di tahun 1873-1904 ini
merupakan perang yang menelan korban serdadu Belanda paling banyak .
Belanda sendiri mengakui bahwa perang Aceh adalah perang yang paling
pahit, melebihi pahitnya pengalaman mereka dalam Perang Napoleon. Hal
ini bisa dibuktikan oleh saksi bisu sejarah, yaitu kuburan Kerkhof.
Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang
terletak di luar negeri Belanda. Kuburan tentara ini adalah salah satu
yang terluas di dunia. Sekitar 2.200 tentara termasuk empat orang
jenderal dimakamkan di sini. Serdadu-serdadu Belanda tersebut menjadi
saksi kegigihan perjuangan rakyat Aceh yang tak pernah lelah mengobarkan
jihad melawan “kaphee” (si kafir) Belanda.
Bahkan Belanda sempat putus asa dalam menghadapai perlawanan rakyat
Aceh, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk memadamkannya. Atas jasa Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje lah Belanda dapat mengusai Kesultanan Aceh.
Snouck Hurgronje berpura-pura masuk Islam untuk mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang kelemahan rakyat Aceh. Selama dua tahun Ia
berbaur dengan rakyat Aceh. Dari hasil penelitiannya yang dibukukan
dalam buku berjudul De Acehers (Rakyat Aceh) Ia memberi pandangan
bahwa pemimpin perang sebenarnya bukanlah sultan Aceh tetapi para
ulama. Ia menyarankan agar tentara Belanda berkonsentrasi dalam menumpas
dan memberangus para ulama. Setelah para ulama tertangkap dan
diasingkan atau bahkan dibunuh barulah perjuangan rakyat Aceh bisa
dipadamkan. Saran Snouck Hurgronje dijalankan oleh Belanda, dan ternyata
berhasil dengan baik. Perang Aceh bisa dipadamkan sedikit demi sedikit.
Tak ada yang menyangkal keheroikan rakyat Aceh dalam berjuang. Bahkan
ketika Sultan Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada tahun 1904,
rakyat Aceh tetap melanjutkan perang secara gerilya. Mereka berjuang
bukan demi Sultan, tetapi karena panggilan jihad suci mempertahankan
tanah air. Perang gerilya tetap berlangsung hingga tahun 1942, tahun
berakhirnya penjajahan Belanda karena kedatangan tentara Jepang.
Perang Aceh telah begitu banyak melahirkan para pahlawan, tak hanya
laki-laki tetapi juga pahlawan perempuan. Salah satu pahlawan tersebut
adalah Teungku Fakinah, seorang ulama perempuan yang menjadi panglima
perang di daerahnya.
Teungku adalah sebutan bagi alim ulama Aceh. Sedangkan Teuku adalah
gelar kebangsawanan. Teungku Fakinah merupakan salah satu ulama
perempuan yang hidup sezaman dengan Cut Nyak Dien. Ia sahabat karib Cut
Nyak Dien dalam berjuang. Ia juga sering menjadi penasihat spiritual Cut
Nyak Dien.
Teungku Fakinah dilahirkan tahun 1856 di desa Lam Krak. Ayahnya
bernama Datuk Mahmud, seorang pejabat pemerintahan kesultanan Aceh.
Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa’at pendiri pesantren Lam
Pucok. Ibunya adalah seorang ulama. Pesantren Lam Pucok menghasilkan
banyak pejuang gigih Aceh, salah satunya adalah Teungku Chik Ditiro.
Teungku Fakinah tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ia menempuh
pendidikan agama di pesantren milik kedua orang tuanya. Ia belajar agama
dengan tekun seperti ilmu Tauhid, tafsir, hadits, Bahasa Arab.
Sedangkan ilmu keputrian ia peroleh dari ibunya.
Teungku Fakinah dibesarkan dalam kondisi perang Aceh. Semua
masyarakat Aceh bersatu padu mengobarkan semangat jihad. Tua, muda,
laki-laki, perempuan semuanya membenci kaphee Belanda. Terlebih lagi
ketika Masjid agung Baiturrahman di kuasai Belanda, semua rakyat Aceh
bersumpah untuk merebutnya kembali. Tercatat terjadi empat kali
pertempuran besar dalam merebut Masjid Agung Baiturrahman.
Meskipun perempuan, tetapi Teungku Fakinah memiliki keberanian yang
tidak kalah dengan laki-laki. Ia dikarunia wajah yang rupawan.
Kecantikan wajahnya tidak membuat ia lupa diri. Tidak membuat ia
mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan duniawi semata.
Kecantikan wajahnya ia lengkapi dengan kecantikan hatinya. Teungku
Fakinah memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya. Ia
hanya mau menerima pinangan pemuda yang taat beragama.
Ketika berusia 16 tahun, yaitu di tahun 1872, Teungku Fakinah
menggenapkan separuh agamanya. Ia menikah dengan Teungku Ahmad, seorang
pemuda shalih dari kampung Lam Beunot. Pasangan suami istri ini telah
mewakafkan dirinya untuk berjuang bersama di jalan Alloh. Mereka
mendirikan pesantren di Lam Beunot. Disamping aktif mengajar di
pesantren, Teungku Ahmad juga gigih berjuang mengusir Belanda.Ia
bersumpah untuk berjuang di jalan Alloh hingga syahid menjelang.
Tatkala pecah perang Aceh untuk pertama kalinya di tahun 1873, tanpa
ragu Teungku Ahmad turut berjuang memenuhi panggilan jihad suci. Ia
memperkuat barisan pasukan Panglima Polim (Panglima Kesultanan Aceh) .
Meskipun masih pengantin baru dan mempunyai istri cantik, tetapi hal
tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk berjihad. Ia berjuang dengan
gagah berani di garis depan. Pertempuran terjadi dengan dahsyatnya.
Banyak kaum mujahidin yang syahid, termasuk di dalamnya Teungku Ahmad.
Teungku Fakinah berduka sekaligus bangga memiliki suami yang syahid
di jalan Alloh. Ia menjadi janda dalam usia yang sangat muda yaitu 17
tahun. Teungku Fakinah adalah tipe mukmin sejati yang menyerahkan
seluruh hidupnya untuk berjuang di jalan Alloh. Meskipun suaminya telah
tiada, bukan berarti ia harus larut dalam kedukaan. Ia bahkan bangkit
meneruskan perjuangan suaminya.
Kiprah pertamanya adalah membentuk Badan Amal bagi kaum mujahidin. Ia
mengkoordinir para perempuan terutama para janda untuk bangkit
berjuang. Ia berkeliling Aceh mengumpulkan sumbangan untuk menyokong
perang Aceh. Berbagai sumbangan yang ia peroleh baik berupa uang,
makanan, senjata, ataupun pakaian diserahkan sepenuhnya bagi kepetingan
kaum mujahidin. Ia juga mendirikan dapur umum dan tenda darurat bagi
mujahidin yang terluka.
Ketika Kutaraja (Banda Aceh) berhasil dikuasai Belanda, para pejuang
memindahkan pertahanannya di Lam Bhouk. Tetapi pertahanan tesebut tidak
bisa bertahan lama, Lam Bhouk berhasil dikuasai Belanda pada tahun 1883.
Para pejuang kemudian bergerilya dan memindahkan pusat pertahanannya di
Aneuk Galung. Dengan dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro, para pejuang
berjuang mati-matian mempertahankan daerah Aneuk Galung. Dahulunya,
daerah Aneuk Galung ini merupakan markas pertahanan Panglima Polim.
Tetapi Panglima Polim berhasil ditangkap Belanda pada tahun 1878.
Disamping memperkuat pertahanana daerah Aneuk Galung, para pejuang
juga membangun basis-basis pertahanan di daerah lain. Diantaranya yaitu
daerah Lam Sa Yeun yang dipimpin oleh Tengku Mat Saleh, daerah Cut Weue
yang dipimpin oleh Tengku Fakinah, daerah Bak Balee dipimpin Habib
Lhong, dan daerah Bak Garot yang dipimpin oleh Tengku Amat. Tengku Amat
merupakan paman Teungku Fakinah, yaitu adik dari Teungku Muhammad
Sa’at.
Tengku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan. Ia
memimpin langsung pembangunan benteng di daerah Cut Weue. Ia mengerahkan
anak buahnya untuk memasang pagar, menggali parit dan memasang ranjau.
Ia memiliki pasukan perempuan yang hebat, pasukan perempuan berani mati.
Tercatat nama-nama hebat seperti Cutpo Fatimah Blang Preh, Nyak Raniah,
Cutpo Habi, Cutpo Nyak Cut, dan Cut Puteh menjadi anggota pasukannya.
Semua pejuang menghormati Teungku Fakinah. Semua rakyat Aceh
mencintai Teungku Fakinah. Ia sering menghadiri rapat koordinasi dengan
para panglima perang daerah lain. Waktu itu Teungku Fakinah adalah
seorang janda. Adat dan tradisi masyrakat Aceh memandang kurang baik
apabila seorang perempuan menghadiri pertemuan dengan para panglima
laki-laki seorang diri. Atas desakan anak buahnya, akhirnya Teungku
Fakinah menikah untuk kedua kalinya dengan Teungku Nyak Badai, seorang
pejuang dari Pidie.
Pernikahan mereka adalah hasil dari perjodohan kaum mujahidin. Dengan
harapan, sepasang mujahidin ini semakin teguh berjuang di jalan Alloh.
Akan tetapi pernikahan mereka pun tidak berumur panjang. Teungku Nyak
Badai mati syahid dalam sebuah pertempuran di tahun 1896. Ketika itu
Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W Stempoort menyerbu markas Teungku
Fakinah. Teungku Nyak Badai beserta istrinya berjuang mati-matian
mempertahankan benteng. Akhirnya Teungku Nyak Badai menunaikan janji
sucinya untuk menjadi syuhada.
Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah tidak mundur setapak pun dari
jalan perjuangan. Salah satu jasa besar yang tercatat oleh sejarah
adalah ketika Teungku Fakinah berhasil mengembalikan Teuku Umar (suami
Cut Nyak Dien) untuk insyaf berjuang kembali melawan kaphee Belanda.
Waktu itu Teuku Umar sempat membelot, memihak kepada Belanda. Ia
bahkan dianugerahi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda atas jasa-jasanya
menumpas pemberontakan rakyat Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar adalah
seorang pejuang yang gigih melawan Belanda. Entah karena alasan taktik
atau bukan, Teuku Umar sempat membelot. Rakyat Aceh sangat bersedih
dengan keadaan ini, mereka kehilangan sosok Teuku Umar yang selama ini
memimpin perjuangan.
Teungku Fakinah tak cukup hanya bersedih, ia menyusun taktik agar
Teuku Umur dapat insyaf kembali, berjuang bersama rakyat kembali. Ia
mengirimkan pesan kepada Cut Nyak Dien yang merupakan sahabatnya. Ia
berkata, sampaikan kepada Teuku Umar untuk membawa pasukannya ke Cut
Weue, untuk memerangi kaum janda dan anak-anak. Cut Nyak Dien terdiam
mendapat pesan tersebut. Hatinya tertohok. Ia malu mendapati suaminya
berpihak kepada musuh, terlebih lagi memerangi janda dan anak-anak
bangsanya sendiri. Kemudian Cut Nyak Dien mempengaruhi suaminya agar
kembali ke pangkuan ibu pertiwi, kembali berjuang bersama rakyat Aceh.
Akhirnya Teuku Umur tersadar, ia menyadari kekeliruannya. Ia merasa
sangat malu mendapati pesan dari Teungku Fakinah untuk memerangi janda
dan anak-anak. Teuku Umar pun kembali berjuang bersama rakyat Aceh. Ia
melarikan 800 pucuk senapan beserta berkarung-karung makanan. Kemudian
senapan-senapan tersebut ia bagikan kepada kaum mujahidin. Belanda
merasa tertipu, merasa dipermainkan oleh Teuku Umur. Sejak saat itu
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien menjadi buronan nomor wahid. Hingga akhir
hayatnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tetap setia membela ibu pertiwi.
Sesudah jatuhnya markas pertahanannya, Teungku Fakinah
berpindah-pindah tempat. Mula-mula ia tinggal di Lammeulo. Setelah itu
ia tinggal di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan
daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat
ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian.
Teungku Fakinah pun sempat membuka pesantren di daerah ini. Akan tetapi
pada tahun 1899 menyerbu tempat ini dan memporak-porandakan semua
bangunan yang ada. Teungku Fakinah berhasil lolos dari pengepungan.
Sejak saat itu Teungku Fakinah tidak pernah membuat markas pertahanan
lagi. Ia mengobarkan perang gerilya bersama perempuan hebat lainnya
seperti Pocut Awan (ibunda Panglima Polim), Pocut Lam Gugob (kerabat
sultan),dll. Mereka mengarungi hutan belantara, berpindah-pindah sampai
kepegunungan Pasai, Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut
Tawar. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai
Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama,
terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya. Ia mengobarkan
semangat jihad mujahidah0mujahidah hebat tersebut.
Setelah Panglima Polim dan Kesultanan Aceh menyerah, Teungku Fakinah
kembali ke kampung halamannya pada tanggal 21 Mei 1910. Dia kembali ke
kampung halamannya di desa lam Kraak dalam usia 54 tahun. Kemudian ia
pun mendirikan pesantren pada tahun 1911. Teungku Fakinah sangat
dihormati dan dicintai rakyat Aceh. Banyak tokoh masyarakat yang
menyumbangkan dana untuk pembangunan pesantren tersebut. Teungku Fakinah
pun mengisi hari tuanya dengan mengajar agama di pesantren.
Murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru Aceh.
Teungku Fakinah mempunyai cita-cita untuk berangkat haji ke tanah
suci. Ia sudah berumur tetapi niatnya belum terlaksana. Di tahun 1914 ia
bertekad untuk berangkat haji. Tetapi ia seorang janda, dan tidak
diperkenankan seorang janda untuk berangkat haji sendiri. Akhirnya ia
memutuskan untuk menikah lagi agar ada muhrim yang menemani
perjalanannya naik haji. Teungku Fakinah menikah lagi dengan Ibrahim.
Akhirnya di tahun 1915 mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Waktu itu Teungku Fakinah sudah berusia 58 tahun.
Selesai menunaikan ibadah haji, Teungku Fakinah memutuskan tinggal
sementara di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Di tahun keempat di
tanah suci,sang suami yaitu Ibrahim meninggal dunia. Maka pada tahun
1918 Teungku Fakinah memutuskan untuk kembali ke Aceh.
Sesampainya di Aceh, ia memimpin kembali pesantren di Lam Krak. Ia
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para muridnya. Ia mengabdikan dirinya
di pesantren hingga ajal menjemputnya. Teungku Fakinah menghembuskan
nafas terakhir pada tahun 1938 di usianya yang ke-75 . Aceh berduka.
Seorang ulama perempuan sekaligus panglima perang telah tutup usia.
Teungku Fakinah telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengibarkan
panji-panji Islam. Meski namanya tak pernah tercatat dalam buku-buku
sejarah Indonesia, tetapi namanya tetap abadi di sisi pencipta alam
semesta. Salam penuh takzim untuk sang ulama panglima perang.......
Salatiga, 9 Oktober 2012
Merenungi kembali mozaik sejarah...Kita tidak pernah menemukan materi
perang Aceh dalam buku-buku pelajaran sejarah dari
SD,SMP,SMA....padahal perang Aceh adalah perang terhebat dan terlama di
nusantara. Bahkan Belanda pun mengakuinya sebagai perang paling pahit,
melebihi pahitnya perang Napoleon.....Kuburan Berkhoff menjadi saksi
bisu kehebatan rakyat Aceh....Aceh menjadi mimpi buruk bagi 2200 serdadu
Belanda yang mati dalam perang ini....
+ komentar + 1 komentar
Masya Allah, semoga banyak yang menjadi penerus beliau, karena zaman sekarang sangat sulit untuk mencari sosok yang seperti beliau. http://transparan.id
Posting Komentar